AL-MASJIDIL HARAM

AL-MASJIDIL HARAM
AL-MASJIDIL HARAM

Senin, 12 Maret 2012

Subhanallah, Inilah Mukjizat Alquran Tentang Buah Anggur


Jumat, 09 Maret 2012 06:59 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,  ''Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, kurma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.'' ( QS: An Nahl: ayat 11)

Aneka ragam buah-buahan segar diciptakan Sang Khalik untuk umat manusia. Di antara sekian banyak buah-buahan itu, salah satu yang disebutkan Allah SWT dalam Alquran dalah anggur. Buah yang rasanya lezat itu, disebutkan dalam Alquran sebanyak 14 kali.

"Ini menunjukkan bahwa betapa banyak nikmat yang Allah berikan dan sediakan untuk hamba-Nya, baik ketika masih di dunia maupun kelak nanti di kehidupan abadi, yaitu surga bagi orang-orang yang bertakwa,"  ujar Hisham Tahlbah dalam karyanya bertajuk Al-I'jaz Al Ilmi fi Alquran wa al sunnah  (Ensiklopedia Mukzijat Alquran dan Hadis).

Anggur merupakan salah satu tanaman yang dikenal umat manusia sejak lama.  Menurut Thlbah, anggur sudah dikenal sejak masa Nabi Nuh AS. Tanaman yang berbuah manis dan lezat itu tumbuh merambat ke atas, berlawanan arah dengan ujung kuncupnya, dan searah dengan penopang anggur. 

"Anggur juga telah diketahui oleh orang-orang kuno sebagai tanaman berkhasiat tinggi dan memiliki manfaat sangat banyak. Kesimpulannya, anggur adalah salah satu buah yang paling banyak manfaatnya," tutur Tahlbah.

Buah anggur ini, sangat baik untuk dimakan, baik ketika masih segar ataupun sudah kering. Anggur merupakan buah yang mudah dicerna, dapat menggemukan, dan dapat menyuplai gizi yang yang cukup. Anggur hijau maupun merah memiliki khasiat yang sama, keduanya bisa dimanfaatkan untuk menjadi buah, makanan, minuman, maupun sebagai obat. 

Hal senada juga dituturkan Ibnu Qayyim. Menurutnya, anggur adalah salah satu buah-buahan yang memiliki banyak manfaat. "Anggur adalah salah satu buah dari sekian banyak buah, salah satu makanan bergizi dari sekian banyak makanan bergizi, salah satu obat dari sekian banyak obat, atau salah satu minuman dari sekian banyak minuman," ungkap Ibnu Qayyim.

Sebagai obat, anggur memiliki kandungan gizi yang sangat tinggi. Tahlbah mengungkapkan, anggur diyakini bisa mengobati batuk, memurnikan darah, membersihkan usus, pencernaan, bahkan bermanfaat untuk orang-orang yang terkena penyakit lambung. Tak hanya itu, anggur juga bisa dimanfaatkan bagi siapa saja yang henda melakukan diet (mengatur pola makanan).

Thalbah menjelaskan dalam buku-buku pengobatan pernafasan, anggur  juga memiliki manfaat sebagai obat untuk mendukung pengobatan pernafasan. Untuk mendukung pengobatan tersebut, anggur diolah menjadi minuman yang berupa jus anggur. "Perasan air anggur juga berkhasiat menurunkan panas tubuh, menghentikan batuk, dan membuat perut merasa nyaman," papar Tahlbah.

Jus anggur, menurut dia, bisa membantu penyembuhan dari penyakit hemaroid (wasir), gangguan pencernaan, batu ginjal dan gangguan kantong empedu. Untuk itu, para peneliti menganjurkan untuk meminum segelas jus anggur, sebelum sarapan dan sebelum makan malam. 

Bahkan meminum segelas anggur sebelum tidur juga bisa membantu anda untuk tidur nyenyak tanpa insomnia yang mengganggu. Jus anggur juga baik untuk orang-orang yang keracunan, keletihan atau dalam masa penyembuhan atau terkena batu ginjal (kencing batu).

Menurut para peneliti, jus anggur harus segera diminum setelah pembuatannya, karena jika didiamkan terlalu lama akan berubah menjadi arak yang memabukkan. "Dari buah kurma dan anggur, kamu membuat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang mengerti," (QS Al-Nahl (16) ayat 67).

Anggur juga bisa digunakan sebagai cairan pelembab kulit muka dan untuk bahan kosmetika. Abu Muhammad Abdallah Ibn Ahmad Ibn al-Baitar Dhiya al-Din al-Malaqi atau akrab disapa Ibnu al-Baitar (1197 M – 1248 M) menuturkan bahwa anggur yang baik adalah anggur yang berukuran besar, berkulit tipis, berbiji jarang, dan berwarna agak kemerah-merahan. Menurutnya anggur adalah buah yang paling diminati.

"Ia juga tergolong paling baik dibandingkan buah-buahan lainnya, karena mengandung banyak lemak. Ia dapat menggemukan orang yang kurus, membersihkan darah, dan memperlancar saluran pencernaan. Anggur juga bermanfaat untuk meningkatkan libido, memulihkan orang yang sakit, dan menguatkan jantung," jelas Ibnu Baithar, ahli botani Muslim terkemuka di era kejayaan Islam di Andalusia.

Anggur muda atau anggur yang masih segar, lanjut Tahlbah, memiliki manfaat dapat memampatkan darah yang terus menerus mengalir keluar (pendarahan), menguatkan lambung, memperlancar saluran pencernaan, dan mengatasi masalah usus besar.

"Dari beberapa penelitian diperoleh kesimpulan bahwa anggur adalah buah yang memiliki banyak manfaat. Anggur sangat efektif dalam membangun, memperbaiki, dan memperkuat sel-sel tubuh. Ia juga dapat mengobati sejumlah penyakit. Selain mengobati anggur juga berfungsi untuk melindingi manusia dari serangan penyakit," tandas Tahlbah.

Fakta ini menunjukkan betapa buah-buahan yang disebutkan Sang Khalik dalam Alquran memiliki khasiat dan kegunaan yang luar biasa. Inilah salah satu bukti kemukjizatan ayat-ayat suci Alquran. 

Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: desy susilawati

Inilah Sepuluh Alasan Mengapa Islam Mengharamkan Babi


Minggu, 04 Maret 2012 20:36 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, SCOLAND --  Ajaran Islam mengharamkan umatnya mengkonsumsi daging babi dan atau memanfaatkan seluruh anggota tubuh babi. Berikut sepuluh alasan mengapa babi diharamkan.
 
Pertama, babi adalah container (tempat penampung) penyakit.

Beberapa bibit penyakit yang dibawa babi seperti Cacing pita (Taenia solium), Cacing spiral (Trichinella spiralis), Cacing tambang (Ancylostoma duodenale), Cacing paru (Paragonimus pulmonaris), Cacing usus (Fasciolopsis buski), Cacing Schistosoma (japonicum), Bakteri Tuberculosis (TBC), Bakteri kolera (Salmonella choleraesuis), Bakteri Brucellosis suis, Virus cacar (Small pox), Virus kudis (Scabies), Parasit protozoa Balantidium coli, Parasit protozoa Toxoplasma gondii

Kedua, daging babi empuk.

Meskipun empuk dan terkesan lezat, namun karena banyak mengandung lemak, daging babi sulit dicerna. Akibatnya, nutrien (zat gizi) tidak dapat dimanfaatkan tubuh.

Ketiga, menurut Prof. A.V. Nalbandov (Penulis buku : Adap-tif Physiology on Mammals and Birds) menyebutkan bahwa kantung urine (vesica urinaria) babi sering bocor, sehingga urine babi merembes ke dalam daging. Akibatnya, daging babi tercemar kotoran yang mestinya dibuang bersama urine.

Keempat, Lemak punggung (back fat) tebal dan mudah rusak oleh proses ransiditas oksidatif (tengik), tidak layak dikonsumsi manusia.

Kelima, babi merupakan carrier virus/penyakit Flu Burung (Avian influenza) dan Flu Babi (Swine Influenza).

Di dalam tubuh babi, virus AI (H1N1 dan H2N1) yang semula tidak ganas bermutasi menjadi H1N1/H5N1 yang ganas/mematikan dan menular ke manusia.
Keenam, menurut Prof Abdul Basith Muh. Sayid berbagai penyakit yang ditularkan babi seperti, pengerasan urat nadi, naiknya tekanan darah, nyeri dada yang mencekam (Angina pectoris), radang (nyeri) pada sendi-sendi tubuh.

Ketujuh, Dr. Murad Hoffman (Doktor ahli & penulis dari Jerman) menulis bahwa Memakan babi yang terjangkiti cacing babi tidak hanya berbahaya, tapi juga menyebabkan peningkatan kolesterol tubuh dan memperlambat proses penguraian protein dalam tubuh.

Ditambah cacing babi Mengakibatkan penyakit kanker usus, iritasi kulit, eksim, dan rheumatic serta virus-virus influenza yang berbahaya hidup dan berkembang di musim panas karena medium (dibawa oleh) babi.

Kedelapan, penelitian ilmiah di Cina dan Swedia menyebutkan bahwa daging babi merupakan penyebab utama kanker anus dan usus besar.

Kesembilan, Dr Muhammad Abdul Khair (penulis buku : Ijtihaadaat fi at Tafsir Al Qur’an al Kariim) menuliskan bahwa daging babi mengandung benih-benih cacing pita dan Trachenea lolipia. Cacing tersebut berpindah kepada manusia yang mengkonsumsi daging babi.

Kesepuluh, DNA babi mirip dengan manusia, sehingga sifat buruk babi dapat menular ke manusia. Beberapa sifat buruk babi seperti, Binatang paling rakus, kotor, dan jorok di kelasnya, Kemudian kerakusannya tidak tertandingi hewan lain, serta suka memakan bangkai dan kotorannya sendiri dan Kotoran manusia pun dimakannya. Sangat suka berada di tempat yang basah dan kotor. Untuk memuaskan sifat rakusnya, bila tidak ada lagi yang dimakan, ia muntahkan isi perutnya, lalu dimakan kembali. Lebih lanjut Kadang ia mengencingi pakannya terlebih dahulu sebelum dimakan.

Selain kesepuluh alasan diatas ternyata ada beberapa penyakit lain yang dapat disebabkan oleh babi seperti kholera babi (penyakit menular berba-haya yang disebabkan bakteri), keguguran nanah (disebabkan bakteri prosilia babi), kulit kemerahan yang ganas (mematikan) dan menahun, Penyakit pengelupasan kulit, dan Benalu Askaris, yang berbahaya bagi manusia
p � t ( @p� �D� arasi) antara air sungai dan air laut. (Introductory Oceanography, Thurman, p. 301)


Informasi ini telah ditemukan baru-baru ini, dengan menggunakan peralatan canggih untuk mengukur temperatur, kadar garam, kerapatan, sifat kelarutan oksigen, dan lain lain Mata manusia tidak bisa melihat adanya perbedaan yang terjadi bila kedua lautan bertemu, melainkan kedua lautan yang bertemu tersebut hanya nampak sebagai suatu laut yang homogen. Demikian juga, mata manusia juga tidak bisa melihat adanya pembagian air menjadi tiga bagian di muara yaitu : bagian air tawar, air aisn dan sekat pemisah ( zona pemisah/separasi).

Footnote

1) Principles of Oceanography, Davis, pp. 92-93.
2) Principles of Oceanography, Davis, p. 93.
3) Oceanography, Gross, p. 242. Also see Introductory Oceanography, Thurman, pp. 300-301.
4) Oceanography, Gross, p. 244, and Introductory Oceanography, Thurman, pp. 300-301.

THE QURAN ON SEAS AND RIVERS


Laut dan Sungai
Ilmu pengetahuan Modern telah menemukan bahwa tempat di mana dua laut berbeda bertemu terdapat suatu penghalang diantara mereka. Penghalang tersebut membagi kedua laut tersebut sedemikian sehingga masing-masing laut mempunyai suhu, kadar garam, dan rapat jenis yang berbeda satu dengan lainnya (1). Sebagai contoh, Air laut Mediterania bersuhu hangat, bersifat garam, dan lebih sedikit padat, bila dibandingkan dengan air laut Samudra Atlantik. Ketika air laut Mediterania masuk ke lautan Atlantik di atas teluk Gibraltar, air laut Miditerania bergerak beberapa ratus kilometer ke dalam Lautan Atlantik pada suatu kedalaman sekitar 1000 meter dengan karakteristik yang dimilikinya.(2) ( lihat gbr 1).

Gambar 1: Profil air laut Miditerania ketika masuk ke dalam laut Atlantik di atas teluk Gibraltar dengan karakteristik yang dimiliknya. Penghalang tersebut membagi kedua laut tersebut sedemikian sehingga masing-masing laut mempunyai suhu, kadar garam, dan rapat jenis yang berbeda satu dengan lainnya (Suhu dalam derajat Celsius (C?). (Marine Geology, Kuenen, hal. 43)

Meskipun ada ombak besar, arus-kuat, dan pasang laut, mereka tidak akan bercampur atau melewati penghalang ini.

Al Quran menyebutkan bahwa ada suatu penghalang antara dua laut yang bertemu dan bahwa mereka tidak akan bercampur. Allah berfirman :
DIA MEMBIARKAN DUA LAUTAN MENGALIR YANG KEDUANYA KEMUDIAN BERTEMU .ANTARA KEDUANYA ADA BATAS YANG TIDAK DILAMPAUI OLEH MASING - MASING . (QS 55 : 19-20)

Tetapi manakala Quran membicarakan pembagi/batas antara air tawar (air sungai) dan air asin (air laut) disebutkan tentang adanya ?sekat pemisah? diantara kedua jenis air ini. Allah berfirman :
DAN DIALAH YANG MEMBIARKAN DUA LAUT MENGALIR ( BERDAMPINGAN ) : YANG INI TAWAR LAGI SEGAR DAN YANG LAIN ASIN LAGI PAHIT : DAN DIA JADIKAN ANTARA KEDUANYA DINDING DAN BATAS YANG MENGHALANGI .(QS 25 : 53)

Orang mungkin bertanya, mengapa Al Quran menyebutkan sekat manakala membicarakan pembagi/pembatas antara air sungai dan air asin (air laut), tetapi tidak menyebutkan ketika Al Quran manakala membicarakan pembagi/pembatas antara dua laut?

Ilmu pengetahuan modern telah menemukan bahwa di muara sungai, di mana terjadi pertemuan antara air sungai dengan air asin (air laut) situasinya adalah sedikit berbeda dari tempat dimana terjadi pertemuan antara dua laut. Telah ditemukan bahwa yang membedakan antara air sungai dan air asin (air laut) di muara sungai adalah apa yang disebut dengan zona ?pycnocline?. Zona inilah yang memisahkan kedua jenis air tersebut dikarenakan adanya perbedaan kerapatan (3). Zona pemisah ini mempunyai kadar garam yang berbeda yang berasal dari air sungai dan air laut (4) ( lihat gbr 2).

Gambar 2 : Penampang memanjang yang menunjukkan kadar garam ( dalam ppm) di suatu muara. Dapat dilihat di sini adanya sekat ( zone separasi) antara air sungai dan air laut. (Introductory Oceanography, Thurman, p. 301)

Informasi ini telah ditemukan baru-baru ini, dengan menggunakan peralatan canggih untuk mengukur temperatur, kadar garam, kerapatan, sifat kelarutan oksigen, dan lain lain Mata manusia tidak bisa melihat adanya perbedaan yang terjadi bila kedua lautan bertemu, melainkan kedua lautan yang bertemu tersebut hanya nampak sebagai suatu laut yang homogen. Demikian juga, mata manusia juga tidak bisa melihat adanya pembagian air menjadi tiga bagian di muara yaitu : bagian air tawar, air aisn dan sekat pemisah ( zona pemisah/separasi).

Footnote

1) Principles of Oceanography, Davis, pp. 92-93.
2) Principles of Oceanography, Davis, p. 93.
3) Oceanography, Gross, p. 242. Also see Introductory Oceanography, Thurman, pp. 300-301.
4) Oceanography, Gross, p. 244, and Introductory Oceanography, Thurman, pp. 300-301.

AL-QUR'AN, ORIENTALISME DAN LUXENBERG




Belum lama ini akidah umat Islam diserang lagi. Kali ini sasarannya, lagi-lagi kitab suci Al-Qur'an. Tidak mengherankan, sebab di antara kitab-kita suci, Al-Qur'an merupakan satu-satunya yang dengan tegas menyatakan dirinya bersih dari keraguan (laa rayba fihi), dijamin keseluruhannya (wa innaa lahuu la-haafizuun), dan tiada tandingannya. Lebih dari itu, Al-Qur'an ibarat kompas pedoman arah dan petunjuk jalan, laksana obor penerang dalam kegelapan, hal yang membuat kalangan non-Muslim (khususnya 'Orientalis-Misionaris', Yahudi dan Kristen) geram sekaligus hasad(dengki) adalah fakta bahwa dalam soal yang satu inipun - yakni tentang keaslian, kebenaran dan kemukjizatan Al-Qur'an sebagai Kalamullah - seluruh umat Islam sepakat dan sependapat dari dulu sampai sekarang, dari Maroko sampai Merauke.

Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an, orang Yahudi dan Kristen memang tak akan pernah berhenti, dengan segala macam cara, mempengaruhi umat Islam agar mengikuti langkah mereka. Mereka ingin umat Islam melakukan apa yang mereka lakukan; menggugat, mempersoalkan ataupun mengutak-atik yang sudah jelas dan mapan, sehingga timbul keraguan terhadap yang sah dan benar. Untuk memberi kesan seolah-olah objektif dan autoritatif, Orientalis-Misionaris ini biasanya 'berkedok' sebagai pakar (scholars/expert) dalam bahasa, sejarah, agama dan kebudayaan Timur, baik yang 'jauh' (Far Eastern, seperti Jepang, Cina dan India) maupun yang 'dekat' (Near Estern, seperti Persia, Mesir dan Arabia)

I. Sekilas kajian Orientalis terhadap Al-Qur'an

Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham Inggeris, mengumumkan bahwa :"Sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap Al-Qur'an sebagaimana yang telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the Koran to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures)." Mengapa Misionaris satu ini menyerukan hal demikian..?

Seruan semacam ini dilatar-belakangi oleh kekecewaan orang Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap umat Islam dan kitab suci Al-Qur'an. Perlu diketahui bahwa mayoritas cendikiawan Kristen sudah lama meragukan autentisitas Bibel. Mereka terpaksa menerima kenyataan pahit bahwa Bibel yang ada di tangan mereka sekarang ini terbukti bukan asli alias 'aspal'. Terlalu banyak campur-tangan manusia di dalamnya, sehingga sulit untuk membedakan mana yang benar-benar wahyu dan mana yang bukan. Sebab, sebagaimana ditegaskan oleh Kurt Aland dan Barbara Aland :?Until the beginning of the fourth century, the text of the New Testament developed freely?Even for later scribes, for example, the parallel passages of the Gospel were so familiar that they would adapt the text of the one Gospel to that of another. They also felt themselves free to make corrections in the text, improving it by their own standard of correctness, whether grammatically, stylistically, or more substantively. St. Jerome juga dikatakan mengeluh soal banyaknya penulis Bibel yang "wrote down not what they find but what they think is the meaning; and while they attempt to rectify the errors of others, they merely expose their own." Kecewa dengan kenyataan semacam itu, R. Bentley, Master of Trinity College pada tahun 1720 menghimbau umat Kristen agar mencampakkan kitab suci mereka, yakni naskah Perjanjian Baru versi Paus Clement 1592 (the 'textus receptus' to be abandoned altogether..!). Seruan tersebut dilanjutkan dengan munculnya 'edisi kritis' Perjanjian Baru hasil 'utak-atik' Brooke Foss Westcott (1825-1903) and Fenton John Anthony Hort (1828-1892).

Tentu saja Mingana bukan yang pertama kali melontarkan imbauan semacam itu, dan ia juga tidak sendirian. Jauh sebelum itu, tepatnya pada 1834 di Leipzig, seorang Orientalis Jerman bernama Gustav Fluegel menerbitkan 'mushaf' hasil kajian filologinya. Naskah yang ia namakan Corani Textus Arabicus tersebut sempat dipakai 'tadarrus' oleh sebagian aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL). Kemudian datang Theodor Noeldeke yang berusaha merekonstruksikan sejarah Al-Qur'an dalam karyanya Geschichte des Qorans (1860), sebuah upaya yang belakangan ditiru oleh Taufik Adnan Amal, juga dari Jaringan Islam Liberal. Lalu pada tahun 1937 muncul Arthur Jeffery yang ingin merekonstruksi al-Mushaf al-Uthmani dan membuat mushaf baru. Orientalis asal Australia yang pernah mengajar di American University, Cairo dan menjadi guru besar di Columbia University ini, konon merekonstruksi teks Al-Qur'an berdasarkan Kitab al-Masahif karya Ibn Abi Dawud as-Sijistaani, yang ia anggap mengandung bacaan-bacaan dalam mushaf tandingan (yang ia istilahkan dengan 'rival codices). Jeffery bermaksud meneruskan usaha Gotthelf Bergstraesser dan Otto Pretzi yang pernah bertungkus-lumus (bekerja-keras) mengumpulkan foto lembaran-lembaran (manuskrip) Al-Qur'an dengan tujuan membuat edisi kritis Al-Qur'an (tetapi gagal karena semua arsipnya di Munich musnah saat Perang Dunia ke-2 berkecamuk), sebuah ambisi yang belum lama ini di-echo-kan oleh taufik Amal dari JIL. Saking antusiasnya terhadap qira'at-qira'at pinggiran alias 'nyeleneh' (Nichtkanonische Koranlesarten) Bergstraesser lalu mengedit karya Ibn Jinni dan Ibn Khalaawayh. Bagi para Orientalis ini. 'isnad' tidak penting dan, karena itu, riwayat yang 'shaadh' bisa saja dianggap 'sahih', yang 'ahad' dan 'gharib' bisa saja menjadi 'mutawaatir' dan 'mashhuur', dan yang cacat disamakan dengan yang sempurna. Yang demikian ini merupakan teknik dan strategi utama mereka menjungkir-balikkan kriteria dan nilai, menyepelekan yang fundamental dan menonjolkan yang 'trivial'.

Maka yang digembar-gemborkan adalah isu naasikh-mansuukh, soal adanya surat tambahan versi Shi'ah, isu 'Ghanaariq' dan lain sebagainya. Ada pula yang apriori mau merombak susunan ayat dan surah Al-Qur'an secara kronologis, mau 'mengkoreksi' bahasa Al-Qur'an ataupun ingin mengubah redaksi ayat-ayat tertentu. Kajian Orientalis terhadap Al-Qur'an tidak sebatas mempersoalkan autentisitasnya. Isu klasik yang selalu diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan lain sebagainya terhadap Islam dan isi kandungan Al-Qur'an (theories of borrowing and influence), baik yang mati-matian berusaha mengungkapkan apa saja yang bisa dijadikan bukti bagi 'teori pinjaman dan pengaruh' tersebut seperti dari literatur dan tradisi Yahudi-Kristen (Abraham Geiger, Clair Tisdall dan lain-lain), maupun yang membandingkannya dengan adat istiadat Jahiliyah, Romawi dan lain sebagainya. Biasanya mereka akan mengatakan bahwa cerita-cerita dalam Al-Qur'an banyak yang keliru dan tidak sesuai dengan versi Bible yang mereka anggap lebih akurat.

Sikap anti Islam tersebut tersimpul dalam pernyataan 'miring' seorang Orientalis Inggeris yang banyak mengkaji karya-karya sufi, Reynold A. Nicholson:"Muhammad picked up all his knowledge of this kind [i.e. Al-Qur'an] by hearsay and makes a brave show with such borrowed trappings-largely consisiting of legends from the Haggada and Apocrypha". Namun ibarat buih, segala usaha mereka muncul dan hilang begitu saja, tanpa pernah berhasil mengubah keyakinan dan penghormatan mayoritas umat Islam terhadap kitab suci Al-Qur'an, apalagi sampai membuat mereka murtad.

II. Kesalahan dan Khayalan Orientalis

Al-Qur'an merupakan target utama serangan Misionaris dan Orientalis Yahudi-Kristen, setelah mereka gagal menghancurkan sirah dan sunnah Rasulullah sallalaahu 'alaihi wa-sallam. Mereka mempertanyakan status kenabian Muhammad sallalaahu 'alaihi wa-sallam, meragukan kebenaran riwayat hidup beliau dan menganggap sirah beliau tidak lebih dari sekedar legenda dan cerita fiktif. Demikian pendapat Caetani, Wellhausen, dan konco-konconya. Karena itu mereka sibuk untuk merekonstruksi biografi Nabi Muhammad sallalaahu 'alaihi wa-sallam khususnya, dan sejarah umat Islam umumnya. Mereka ingin umat Islam melakukan hal yang sama seperti mereka telah lakukan terhadap Nabi Musa dan Nabi 'Isa alaihis salam (a.s). Bagi mereka 'Moses' cuma tokoh fiktif (invented, mythical figure) dalam dongeng Bible, sementara tokoh 'Jesus' masih diliputi misteri dan cerita-cerita isapan jempol.

Kalau ada upaya pencarian 'Jesus historis', mengapa tidak ada usaha menemukan fakta sejarah tentang Nabi Muhammad sallalaahu 'alaihi wa-sallam ? Maka Arthur Jeffery pun menulis The Quest of the Historical Mohammad, dimana tak sungkan-sungkan menyebut Nabi Muhammad sallalaahu 'alaihi wa-sallam sebagai 'kepala perampok' (robber chief). Diteruskan kemudian oleh F.E. Peters, dan belum lama ini oleh orang dengan nama samaran 'Ibn Warraq'. Misionaris-orientalis tersebut tidak menyadari bahwa tulisan mereka sebenarnya hanya menunjukkan hatred (kebusukan hati) dan kebencian mereka terhadap tokoh dan agama yang mereka kaji, sebagaimana disitir oleh seorang pengamat :"The studies carried out in the west.have demonstrated only one thing; the anti-Muslim prejudice of their authors". Sikap semacam itu juga tampak dalam kajian mereka terhadap hadist. Mereka menyamakan sunnah dengan tradisi apocrypha dalam sejarah Kristen atau tradisi Aggada dalam agama Yahudi.

Dalam khayalan mereka teori evolusi juga berlaku untuk hadist; mereka berspekulasi bahwa apa yang dikenal sebagai hadist muncul beberapa ratus tahun sesudah Nabi Muhammad sallalaahu 'alaihi wa-sallam wafat, artinya bahwa hadist mengalami beberapa tahap evolusi. Nama-nama dalam rantai periwayatan (sanad) mereka anggap tokoh fiktif. Penyandaran suatu hadist secara sistematis (isnad), menurut mereka baru muncul pada zaman al-Daulah al-Abaasiyah. Karena itu, mereka beranggapan bahwa dari sekian banyak hadist hanya sedikit saja yang autentik sementara sisanya kebanyakan palsu. Demikian pendapat Goldziher, Margoliouth, Schacht, Cook dan para pengikutnya. Orientalis-misionaris ini inginkan umat Islam membuang tuntutan Rasulullah sallalaahu 'alaihi wa-sallam sebagaimana orang Krsiten meragukan dan akhirnya mencampakkan ajaran Yesus.

III. Autentisitas Al-Qur'an

Kembali ke masalah autentisitas kitab suci Al-Qur'an, ada beberapa hal yang perlu di garis-bawahi dan perlu senantiasa diingat. Pertama, pada prinsipnya Al-Qur'an bukanlah 'tulisan' (rasm atau writing) tetapi merupakan 'bacaan' (qira'ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Baik proses turun (pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan (transmisi)-nya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Dari dahulu, yang dimaksud dengan 'membaca' Al-Qur'an adalah 'membaca dari ingatan' (qara'a 'an zhahri qalbin; to recite from memory). Adapun tulisan berfungsi sebagai penunjang semata. Sebab ayat-ayat Al-Qur'an dicatat - yakni, dituangkan menjadi tulisan diatas tulang, kayu, kertas, daun dan lain sebagainya berdasarkan hafalan, bersandarkan apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qaari/muqri. Proses transmisi semacam ini dilakukan dengan isnad yang mutawaatir dari generasi ke generasi, terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian Al-Qur'an sebagaimana diwahyukan oleh Malaikat Jibril a.s kepada Nabi sallalaahu 'alaihi wa-sallam dan diteruskan kepada para Sahabat, demikian hingga hari ini. Ini berbeda dengan kasus Bible, dimana tulisan manuscript evidence dalam bentuk papyrus, scroll dan sebagainya memegang peran utama dan berfungsi sebagai acuan dan landasan bagi Testamentum alias Gospel.

Jadi seluruh kekeliruan dan kengawuran Orientalis bersumber dari sini. Orang-orang seperti Jeffery, Wansbrought dan Puin, misalnya, berangkat dari sebuah asumsi keliru, menganggap Al-Qur'an sebagai 'dokumen tertulis' atau teks, bukan sebagai 'hafalan yang dibaca' atau recitatio. Dengan asumsi keliru ini (taking the Qur'an as text) mereka lantas mau menerapkan metode-meode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bible, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism. Akibatnya, mereka menganggap Al-Qur'an sebagai produk sejarah, hasil interaksi orang Arab abad ke-7 dan 8M dengan masyarakat sekeliling mereka. Mereka mengatakan bahwa mushaf yang ada sekarang tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (yang mereka sendiri tidak tahu pasti) dan karena itu mereka lantas membuat edisi kritis, merestorasi teksnya, maupun membuat naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada. Bahwa mereka menyamakan Al-Qur'an dengan Bible diakui sendiri oleh Karl-Heinz Ohlig :"Bercermin dari [sejarah Kristen], dimana ajaran dan riwayat hidup Yesus dibentuk secara kerygmatis dan dibangun melalui tradisi [yang berkembang] dalam komunitas [para pengikutnya] selama 40 tahun sampai munculnya Injil Markus, sehingga Yesus sejarah [yang sesungguhnya] nyaris mustahil untuk diketahui, maka [bercermin dari kasus ini] boleh jadi tradisi [riwayat-riwayat] mengenai Nabi Muhammad sallalaahu 'alaihi wa-sallam-pun [yakni Al-Qur'an dan hadist] melalui proses serupa".

Kedua, meskipun pada prinsipnya diterima dan diajarkan melalui hafalan, Al-Qur'an juga dicatat dengan menggunakan berbagai medium tulisan. Hingga wafatnya Rasulullah sallalaahu ?alaihi wa-sallam hampir seluruh catatan-catatan awal tersebut milik pribadi para sahabat nabi, dan karena itu berbeda kualitas dan kuantitasnya satu sama lain. Karena untuk keperluan masing-masing (for personal purpose only), banyak yang menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar (tafsir/glosses) dipinggir ataupun disela-sela ayat yang mereka tulis.. Baru kemudian, menyusul susutnya jumlah penghafal Al-Qur'an karena gugur di medan perang, usaha kodifikasi (jam')-pun dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk atas inisiatif Khalifah Abu Bakr as-Siddiq r.a hingga Al-Qur'an terkumpul dalam satu mushaf, berdasarkan periwayatan langsung (first-hand) dan mutawaatir dari Nabi sallalaahu 'alaihi wa-sallam. 

Setelah wafatnya Abu Bakr r.a (13H/634M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah Umar r.a sampai beliau wafat (23H/644M), lalu disimpan oleh Hafsah, sebelum kemudian diserahkan kepada Khalifah Utsman r.a. Pada masa inilah, atas desakan permintaan sejumlah sahabat, sebuah tim ahli sekali lagi dibentuk dan diminta mendata kembali semua qira'at yang ada, serta meneliti dan menentukan nilai keshahihan periwayatannya untuk kemudian melakukan standarisasi demi mencegah kekeliruan dan perselisihan. Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standard yang masing-masing mengandung qira?at mtawaatirah yang disepakati keshahihan periwayatannya dari Nabi sallalaahu 'alaihi wa-sallam. Jadi sangat jelas fakta sejarah dan proses kodifikasinya. Para Orientalis yang ingin mengutak-atik Al-Qur'an biasanya akan mulai dengan mempertanyakan fakta ini dan menolak hasilnya. Mereka menganggap sejarah kodifikasi tersebut hanya kisah fiktif, dan mengatakan bahwa proses kodifikasi baru dilakukan pada abad ke-9M. Jeffery, misalnya seenaknya berkata :"That he [i.e Abu Bakr r.a] ever made an official recension as the orthodox theory demands is exceedingly doubtful". Ia juga mengklaim bahwa :"the text with Uthman canonized was only one out of many rival texts, and we need to investigate what went before the canonical text". Disini kelihatan Jeffery tidak mengerti atau sengaja tidak peduli bahwa Al-Qur'an tidak sama dengan Bible; Al-Qur'an bukan lahir dari manuskrip, tapi sebaliknya; manuskrip lahir dari Al-Qur'an.

Ketiga, Salah paham tentang rasm dan qira'at. Sebagaimana diketahui, tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal Islam, Al-Qur'an ditulis 'gundul', tanpa tanda baca sedikitpun. Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Meskipun demikian, rasm Uthmani sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum muslimin saat itu belajar Al-Qur'an langsung dari para sahabat, dengan cara menghafal dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan. Jadi, Orientalis seperti Jeffery dan Puin telah salah paham dan keliru, lalu menyimpulkan sendiri bahwa teks gundul inilah sumber variant readings sebagaimana terjadi dalam Bible serta keliru menyamakan qira'at dengan 'readings', padahal qira'at adalah recitation from memory dan bukan reading the text. Mereka tidak tahu bahwa dalam hal ini kaidahnya adalah: tulisan harus mengacu pada bacaan yang diriwayatkan dari Nabi sallalaahu 'alaihi wa-sallam dan bukan sebaliknya.

Orientalis juga salah paham mengenai rasm Al-Qur'an. Dalam bayangan keliru mereka, munculnya bermacam-macam qira'at disebabkan oleh rasm yang sangat sederhana itu, sehingga setiap pembaca bisa saja berimprovisasi dan membaca 'sesuka-hatinya'. Padahal ragam qira'at telah ada lebih dahulu sebelum adanya rasm. Mereka juga tidak mengerti bahwa rasm Al-Qur'an telah disepakati dan didesain sedemikian rupa sehingga dapat mewakili dan menampung berbagai qira'at yang diterima. Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Dr. Sha'ban Muhammad Ismail dari Universitas Al-Azhar, Cairo, jumlah qira'at yang ditulis dengan rasm berbeda-beda dalam mushaf Uthmani, tanpa pengulangan, mencapai 58 kata. Dari sini jelas, masahif yang dikirim oleh Khalifah Uthmani r.a ke berbagai kota itu beragam rasm-nya, sesuai dengan bacaan Sahabat yang diutus untuk mengajarkannya. Namun demikian tetap saja bacaan tidak bergantung kepada teks. Dan memang, qira'at Sahabat (yang dikirim ke sebuah kota) atau perawinya tidak otomatis sama dengan mushaf yang beredar di kota itu, tetapi pada umumnya sama. Boleh saja seorang imam atau perawi membacanya sesuai dengan riwayat dan rasm yang ada di mushaf kota lain. Contohnya : Imam Hafs di Kufah membaca QS az-Zukhruf:71 tashtahiihi al-anfus (dengan dua ha) seperti tertera dalam mushaf Madinah dan Syam, padahal dalam mushaf Kufah tertulis dengan satu ha (tashtahii). hal ini dibolehkan mengingat salah satu syarat diterimanya sebuah qira'at adalah sesuai dengan salah satu rasm al-Mushaf al-Uthmani. Sebaliknya, jika suatu qira'at tidak tercatat dalam salah satu al-Mushaf al-Uthmani, qira'at tersebut dianggap 'shadh' dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan rasm yang disepakati, rasm yang telah menampung semua qira'at yang mutawaatir. Jika demikian halnya, maka improvisasi liar atau bacaan liberal seperti yang direka-reka oleh para Orientalis semacam Bellamy, Puin, Luxenberg wa man tabi'ahum sudah pasti a fortiori ditolak.

IV. Kasus Luxenberg dan Bukunya

Misionaris-orientalis ibarat 'zombie', patah tumbuh hilang berganti menyerang Islam. Baru-baru ini muncul lagi seorang dengan nama samaran 'Christoph Luxenberg'. Ia mengklaim bahwa Al-Qur'an hanya bisa dimengerti kalau dibaca sesuai dengan bahasa asalnya, yaitu Syro-aramaic (bahasa Aramaic dengan dialek Syriac). Dalam bukunya yang berjudul 'Cara membaca Al-Qur'an dengan bahasa Syro-aramaic; Sebuah sumbangsih upaya pemecahan kesulitan memahami bahasa Al-Qur'an (Die syro-aramaeische Lesart des Koran; Ein Beitrag zur Entschluesselung der Koransprache) itu, Luxenberg dengan nekad mengklaim bahwa (1) bahasa Al-Qur'an sebenarnya bukan bahasa Arab. Karena itu, menurut dia, banyak kata-kata dan ungkapan yang sering dibaca keliru atau sulit dipahami (in einem Ausmass verlesen und missdeutet wurde) kecuali dengan merujuk pada bahasa Syro-aramaic yang konon merupakan bahasa lingua franca pada masa itu, (2) bukan hanya kosakatanya berasal dari Syro-aramaic, bahkan isi ajarannya-pun diambil dari tradisi kitab suci Yahudi dan Kristen Syria (Peshitta), (3) Al-Qur'an yang ada tidak autentik, perlu ditinjau kembali dan diedit ulang (Zur Richtigstellung des an zahlreichen Stellen verlesenen Korantextes ist eine kritische Edition sicherlich wuenschenwert). Disini tampak bagaimana Orientalis-misionaris mengklaim tahu tentang Al-Qur'an dan 'ngotot' meskipun sudah jelas keliru dan sesat. Juga tampak bagaimana mereka membentuk suatu jaringan untuk saling menyokong dan mendukung satu sama lain.

Untuk meyakinkan para pembaca bukunya, Luxenberg menyebut sejumlah contoh. Menurut dia, kata 'qaswarah' dalam QS 74:51 mestinya dibaca 'qasuurah', lalu kata 'sayyi'at' QS 4:18, dibaca 'saniyya' dari bahasa Syria 'sanyata', juga kata 'aadhannaaka' QS 41:47 harusnya dibaca 'idh-dhaka'. Yang lebih parah lagi, ia mengutak-utik surat al-'Alaq semata-mata dengan alasan bahwa isinya, seperti mana surat al-Fatehah, diklaim diambil dari liturgi Kristen-Syria tentang jamuan makan malam terakhir Yesus. Perlu diketahui bahwa yang dilakukan Luxenberg sebenarnya bukan baru. Jauh sebelum dia, Mingana telah mengorek-ngorek isu ini, diikuti oleh Jeffery dan Spitaler.

Tidak sulit untuk membantah dan menolak Luxenberg, sebab seluruh uraiannya dibangun atas asumsi-asumsi yang keliru. Pertama, ia mengira bahwa Al-Qur'an dibaca berdasarkan tulisannya, sehingga dia boleh seenaknya berspekulasi tentang suatu bacaan. Kedua, ia menganggap bahwa tulisan adalah segalanya, menganggap manuskrip sebagai patokan, sehingga suatu bacaan harus disesuaikan dengan dan mengacu kepada teks. Ketiga, ia menyamakan Al-Qur'an dengan Bible, dimana pembaca boleh mengubah dan mengutak-atik teks yang dibacanya bila dirasa tidak masuk akal atau sulit untuk dipahami. Ketiga asumsi ini dijadikan titik-tolak dan fondasi argumen-argumennya taken for granted tanpa terlebih dahulu dibuktikan kebenarannya. Apakah benar bacaan Al-Qur'an bergantung pada rasm-nya..? Apakah benar bahwa teks adalah segalanya..? dan apakah benar bahwa Al-Qur'an sama dengan Bible..? Luxenberg harus menjawab dulu pertanyaan-pertanyaan ini secara ilmiah sebelum membicarakan yang lain.

Epilogu

'Kenalilah musuhmu!, merupakan motto sekaligus senjata Orientalis-misionaris Yahudi-Kristen dibalik semua kegiatan dan kegigihan mereka dalam mengkaji Islam dan seluk-beluknya dari segala aspek. Adalah 'naif' kalau kita, umat Islam, bersangka baik terhadap orang yang 'tidak akan pernah ridha' pada kita dan senantiasa memusuhi kita. Adalah tidak bijak kalau kita menelan mentah-mentah apa yang mereka katakan atau mereka tulis. Lebih naif lagi, kalau kita membeo dan ikut-ikutan, apalagi melakukan apa yang mereka suruh, seperti merendahkan Rasulullah sallalaahu 'alaihi wa-sallam, menjelek-jelekan para sahabat dan tabi'in, meremehkan para ulama salaf, meragukan otoritas dan otentisitas tradisi keimuan Islam, lalu dengan arogan mau membuat edisi kritis Al-Qur'an, menolak hadist secara total (inkarsunnah), membuat tafsir dan hukum tanpa metode yang bertanggung-jawab serta jauh dari pedoman Al-Qur'an.

Tulisan dari : Dr. Syamsuddin Arif, dari Majalah AL-INSAN, Jurnal kajian Islam, Vol 1 No.1 Januari 2005.
(Dikutip dengan menghilangkan beberapa tulisan yang bersifat terlalu teknis dan catatan kakinya).

ABRAHAH, ISLAM LIBERAL DAN AL-QUR’AN EDISI KRITIS



Ketika Abrahah menjalankan ekspedisinya ke Mekah untuk menghancurkan Ka’bah, pasukannya beristirahat di suatu tempat bernama Mughammis yang jauhnya beberapa mil dari Mekah. 

Mereka merampas apa saja yang mereka temukan diperjalanan, termasuk 200 ekor unta milik Abdul Muthalib, si penjaga Ka’bah. Abrahah lalu mengirim utusan untuk menemui pemimpin penduduk disana. Ia berpesan bahwa mereka datang bukan untuk berperang, melainkan hanya ingin untuk menghancurkan Ka’bah. Dan jika ingin menghindari pertumpahan darah, maka pemimpin Mekah harus menemuinya di kemahnya.

Pemimpin yang mewakili penduduk Mekah adalah Abdul Muthalib, ketika Abrahah melihat kedatangan Abdul Muthalib kekemahnya, dia sangat terkesan, sampai turun dari singgasananya dan menyambutnya dan duduk bersama dia diatas karpet. Ia menyuruh juru bicaranya menanyakan kepada Abdul Muthalib permintaan apa yang hendak diajukan. Abdul Muthalib meminta agar 200 ekor untanya yang telah dirampas oleh pasukan Abrahah agar dikembalikan. Abrahah sangat kecewa mendengarkan permintaan tersebut karena menganggap Abdul Muthalib lebih mementingkan unta-untanya ketimbang Ka’bah yang sedang terancam untuk dihancurkan.. Abdul Muthalib menjawab :”Aku adalah pemilik unta-unta itu, sementara Ka’bah ada pemiliknya sendiri yang akan melindunginya”. “Tapi sekarang ini Dia tak akan mampu melawanku”, kata Abrahah. “Kita lihat saja nanti,” jawab Abdul Muthalib, tapi kembalikan unta-unta itu sekarang”. Dan Abrahah memerintahkan agar unta-unta tersebut dikembalikan.


Dalam ekspedisinya, Abrahah mempunyai seorang penunjuk jalan dari suku arab, bernama Nufayl dari suku Khats’am. 

Belum sampai ke Ka’bah, pasukan tersebut dimusnahkan Allah :

Tapi mereka telah terlambat, langit di ufuk barat menghitam pekat, dan suara-suara gemuruh terdengar dengan suara yang makin menggelegar, muncul gelombang kegelapan yang menyapu dari arah laut dan menutupi langit diatas mereka. Sejauh jangkauan pandangan mereka, langit dipenuhi beribu-ribu burung – tak terhingga jumlahnya. Orang-orang yang berhasil selamat menceritakan bahwa burung-burung tersebut secepat burung layang-layang dan masing-masing membawa tiga batu kecil yang membara, satu diparuhnya dan yang lain dijepit dengan cakar di kedua belah kakinya. Burung-burung tersebut menukik kearah pasukan dan menjatuhkan batu-batu itu, yang kemudian meluncur keras dan cepat menembus setiap baju. Setiap batu yang mengenai pasukan langsung mematikan. Mereka langsung jatuh terkapar dan tubuhnya langsung membusuk.Ada yang membusuk dengan cepat ada juga yang perlahan-lahan.

Sumber : Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, Martin Lings, PT. Serambi Ilmu Semesta.

Terdapat catatan adanya proyek non-Muslim, yaitu Gotthelf Bergstraesser dan Otto Pretzl sekitar PD II di Munich untuk menciptakan ‘Al-Qur’an edisi kritis’ versi mereka. Proyek tersebut kelihatannya sudah berjalan demikian lama dan serius dengan mengumpulkan foto lembaran-lembaran manuskrip. Namun ternyata gagal karena tempat mereka bekerja berikut semua arsip-arsipnya musnah saat PD II berkecamuk. Kita tidak tahu persis sudah seberapa jauh proyek tersebut berjalan dan seberapa serius hasilnya akan bisa merusak Al-Qur’an yang ada. Dalam pikiran kita peristiwa pemusnahan proyek Munich ini terlihat ada kemiripan dengan bencana yang menimpa Abrahah dulu. Ka’bah dan Al-Qur’an adalah milik Allah, bahkan secara eksplisit Allah menyatakan Dia akan memelihara Al-Qur’an :


[15:9] Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.


Kita wajar saja menduga, nasib yang diterima orang yang berusaha merusak Al-Qur’an bisa terlihat mirip dengan nasib yang diterima Abrahah dan pasukannya. Informasinya tempat proyek tersebut beserta arsip-arsipnya musnah dalam PD II, namun kita juga boleh punya pikiran bahwa Allah menjatuhkan laknatnya kepada musuh-musuh Islam yang mau merusak Al-Qur’an dengan menimpakan perang yang luas dan mengerikan, Kristen membunuh Kristen, Kristen membunuh Yahudi, jutaan orang tewas dan puluhan negeri di Eropah binasa, dan ternyata proyek merusak Al-Qur’an terhenti. Kita juga bisa membayangkan bahwa tempat proyek tersebut di Munich diserang oleh puluhan pesawat tempur yang menjatuhkan bom, persis seperti ketika ribuan burung-burung menghabisi pasukan Abrahah dengan menjatuhkan batu berapi.

Saat ini proyek untuk memunculkan Al-Qur’an edisi kritis sudah mulai kembali didengungkan, dengan cara yang lebih kreatif. Kalau dulu pasukan Abrahah punya penunjuk jalan dari kalangan ‘internal’ suku Arab, maka sekarang dunia diluar Islam punya kelompok Islam Liberal, mereka terlihat bersama-sama berusaha untuk memunculkan Al-Qur’an yang sesuai dengan pandangan dan aspirasi yang diinginkan mereka sendiri. Kita tentunya tidak boleh menyama-ratakan motivasi yang ada dibalik sang ‘penunjuk jalan’ ini, dasar tiap-tiap individunya pasti berbeda :

1. Mungkin ada yang berlandaskan motivasi karena keprihatinan mereka terhadap dunia Islam yang saat ini tertinggal dalam bidang keilmuan. Para ilmuwan Islam dinilai sudah ketinggalan jaman karena masih berpedoman kepada kaedah ilmu ‘jadul’ padahal dunia ilmu pengertahuan saat ini sudah berkembang dengan kaedah yang didominasi oleh dunia Barat.

2. Mungkin ada juga yang merupakan reaksi dari penerapan beberapa aliran Islam yang memunculkan tindakan kekerasan dan teror, padahal nuansa yang dikembangkan manusia saat ini adalah demokrasi, hak azazi manusia, kesetaraan, anti kekerasan, dll. Penyebab tindakan kekerasan dan teror ini dialamatkan kepada Al-Qur’an dengan mushafnya yang dikenal sekarang, maka perlu dibuat Al-Qur’an versi lain yang disesuaikan dengan prinsip tersebut.

3. Mungkin ada juga alasan yang berbau ‘sufi’, ibarat ‘menempatkan diri sendiri sebagai bara api diatas sebongkah es yang membeku’, dengan memunculkan kajian-kajian dan tindakan yang ‘kontroversial’ maka dunia Islam yang dianggap selama ini telah membeku bisa tergerak untuk kembali mengkaji dan memikirkan ajaran Agamanya. Akibat positifnya memang bisa kita lihat, sekarang muncul cendikiawan yang lebih muda, yang bergairah untuk kembali mendalami ajaran Islam, baik dengan mengulas kembali pikiran-pikiran ulama ‘tradisional’ maupun berusaha ‘masuk’ melihat dari cara berpikir ilmuwan non-Muslim/orientalis, lalu mempublikasikannya di media massa, sesuatu yang masih jarang kita temukan dimasa lalu.

4. Mungkin ada juga yang punya motivasi untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Kita bisa membaca berita, orang-orang dari Islam Liberal mempunyai akses yang cukup mumpuni terhadap sumber-sumber dana pihak non-Muslim, ada yang mampu melanjutkan pendidikannya kedunia barat untuk mendapatkan Master atau Doktor, ada yang LSM-nya tetap berjalan dengan dana yang cukup, ada juga yang terpublikasikan memperoleh penghargaan atau piagam yang tentunya bisa menambah catatan ‘curriculum vitae’-nya.

Apapun motivasi sang ‘penunjuk jalan’ ini, secara umum bisa kita katakan bahwa agenda yang dibawa tidak akan bisa dilepaskan dengan agenda ‘tuan’nya. Dan BELUM ADA BUKTI bahwa agenda yang dibawa kaum non-Muslim terhadap ajaran Islam benar-benar bermanfaat bagi perkembangan Islam itu sendiri, kita bisa berpikir buat apa orang lain begitu repot-repot mau menghabiskan waktu dan tenaganya untuk ‘memperbaiki’ Al-Qur’an..???

Kekuatan untuk mengutak-utik ajaran Islam adalah kekuatan yang besar dan mendominasi dunia, persis posisinya dengan pasukan Abrahah dulu. Umat Islam bisa saja berjuang untuk melawannya, namun ketika seluruh upaya yang ada sudah kita lakukan, ada baiknya kita bersikap seperti Abdul Muthalib dulu :”Al-Qur’an itu ada pemiliknya, maka Dia-lah yang akan melindunginya..”. lalu mari kita sama-sama tunggu apa yang akan terjadi…

IDENTIFIKASI AL-QUR’AN TENTANG FIR’AUN EKSODUS


oleh : Archa (swaramuslim)

Kisah nabi Musa dalam Al-Qur’an mempunyai kesamaan dengan penjelasan Bibel. Namun ada juga sejumlah perbedaan. Tulisan ini mengkaji terutama teks Al-Qur’an tentang kisah nabi Musa, Al-Qur’an dan Bibel memberikan gambaran historis yang sangat berbeda dan menggaris-bawahi perbedaan besar dalam kredibilitas historis antara Al-Qur’an dan Bibel. Perbedaan tersebut akan dikontraskan dengan fakta historis yang teruji dan implikasinya akan diperbincangkan secara mendalam.

1. Satu Fir’aun, bukan dua

Kita melihat Bibel menyatakan bahwa Fir’aun yang memerintah Mesir pada saat kelahiran nabi Musa, meninggal ketika nabi Musa berada di Midian (Keluaran 2:23, 4:10) , sekembalinya dari Midian, nabi Musa menghadap Fir’aun yang berbeda. Sebagaimana telah disimpulkan sebelumnya, dengan memperbandingkan cerita Bibel terhadap fakta historis, Fir’aun sang penindas adalah Ramses II (1279SM – 1212 SM) dan karenanya Fir’aun masa eksodus adalah anaknya Merneptah (1212SM – 1202SM). Al-Qur’an dengan sangat jelas menyebutkan hanya ‘satu’ Fir’aun, bukan dua. Fir’aun ini menindas Bani Israel dan kemudian mengejar mereka saat eksodus dari Mesir. Semua ayat Al-Qur’an yang relevan secara sangat jelas hanya merujuk kepada satu Fir’aun. Dalam ayat Al-Qur’an yang menuturkan kisah nabi Musa tidak ada satupun yang menyebutkan tentang naik tahtanya Fir’aun baru di Mesir.

Bukti yang pertama terdapat dalam surat al-Qashash [QS 28:2-9]. Ayat tersebut bercerita tentang kejahatan Fir’aun dan kekejaman yang dilakukan terhadap Bani Israil sebelum nabi Musa lahir. Selanjutnya diberikan perincian tentang kelahiran nabi Musa dan izin Fir’aun agar nabi Musa dibiarkan hidup. Kisah tersebut berlanjut dengan keberangkatan nabi Musa ke Midian dan kemudian eksodus dan diinformasikan bahwa kemudian Fir’aun tenggelam. Disamping itu, bagian dialog antara nabi Musa dengan Fir’aun setelah kembali dari Midian dan Fir’aun yang disebutkan dalam Al-Qur’an menjelaskan dengan gamblang bahwa dialah yang memelihara nabi Musa pada masa kanak-kanak, lihat Asy-Syu’ara [QS 26:18-22].

Indikasi yang lain tentang adanya satu Fir’aun adalah surat Asy-Syu’ara [QS 26:10-16] dan al-Qashash [QS 28:32-35]. Berbeda dengan Bibel yang menggambarkan sama sekali tidak ada ketakutan nabi Musa untuk kembali ke Mesir karena Fir’aun sudah mati (Keluaran 4:19) Al-Qur’an menyatakan tegas bahwa ketika pertama kali diperintahkan Allah agar pergi ke Fir’aun, nabi Musa menunjukkan kekhawatirannya tentang misi ini, karena telah membunuh salah seorang kaum Fir’aun dan sebelumnya telah melarikan diri beberapa tahun. Jelaslah bahwa Al-Qur’an berbicara tentang satu Fir’aun yang berkuasa di Mesir sejak kelahiran nabi Musa sampai tenggelam di laut setelah eksodus Bani Israil.

2. Fir’aun yang lama memerintah

Fakta bahwa Al-Qur’an berbicara tentang satu Fir’aun yang memerintah Mesir sebelum kelahiran nabi Musa hingga eksodus – jika kita kombinasikan dengan perincian lain Al-Qur’an tentang kisah nabi Musa – mendorong suatu kesimpulan yang sangat penting tentang lama kekuasaan Fir’aun ini, dan juga identitasnya. Mengingat bahwa nabi Musa lahir ketika Fir’aun sudah berkuasa dan Fir’aun meninggal dalam pengejarannya terhadap nabi Musa, lama kekuasaan Fir’aun dapat dikalkulasikan dengan menjumlahkan semua ini : (1) lama kekuasaan Fir’aun sebelum nabi Musa lahir (2) usia nabi Musa ketika meninggalkan Mesir menuju Midian (3) lama nabi Musa tinggal di Midian (4) lama nabi Musa tinggal di Mesir setelah kembali dari Midian.

Pertama, Al-Qur’an tidan menyatakan pada tahun keberapa kekuasaan Fir’aun ketika nabi Musa lahir, maka kita hanya bisa membuat perkiraan minimal lama kekuasaan raja tersebut. Kedua, Kesimpulan berapa lama nabi Musa tinggal di Mesir sebelum pergi ke Midian dapat ditarik dari surat al-Qashash [QS 28:14] yang memuat kata ‘lammaa balagha asyuddahu’ yang diartikan secara harfiah ‘ketika dia mencapai kekuatan penuhnya’. Variasi ungkapan ini ditemukan dalam 8 ayat Al-Qur’an dan penafsiranpun beragam. Sebagian mufassir mengartikan ‘sampai masa pubertas’, sedangkan sebagian lain menyatakan ‘sampai usia yang lebih tua, 60 tahun’. (Setelah membahas panjang-lebar soal ini dengan mengkaitkan kepada kedelapan ayat tersebut, [QS 6:152], [QS 17:34], [QS 4:6] dan [QS 18:82] tentang kematangan usia pada anak yatim, serta ayat lainnya seperti [QS 22:5], [QS 46:15], juga terkait dengan usia dewasa dari nabi Yusuf [QS 12:19-24], maka disimpulkan bahwa usia 22 tahun adalah dugaan yang dapat diandalkan tentang usia nabi Musa ketika pergi ke Midian.

Ketiga, selama di Midian disebutkan secara eksplisit dalam surat al-Qashash [QS 28:27-29], ayat tersebut menyatakan bahwa nabi Musa langsung meninggalkan Midian setelah terpenuhi kontrak yang telah disepakati dengan mertuanya, namun Al-Qur’an tidak menyebutkan pasti apakah delapan atau sepuluh tahun. Oleh karena itu kita memperkirakan rentang waktu tersebut. Kalkulasi tersebut membuahkan kesimpulan bahwa ketika nabi Musa pertama kali diajak bicara oleh Allah dan kembali ke Mesir, beliau berusia sekitar 28 – 32 tahun. Keempat, lamanya waktu nabi Musa tinggal di Mesir setelah kembali dari Midian, Al-Qur’an mengisyaratkan adanya periode yang agak lama. Indikasinya terdapat dalam surat al-A’raf [QS 7:129] tentang keluhan Bani Israil yang menyatakan bahwa mereka ditindas setelah nabi Musa menyampaikan risalah dan nabi Musa menasehati mereka agar bersabar. Indikasi yang lain menyebutkan soal adanya ‘kekeringan’ yang menunjuk periode beberapa tahun, bahkan dalam tahun-tahun berurutan seperti dalam surat al-A’raf [QS 7:131]. Karena itu, pemukiman kedua nabi Musa di Mesir diperkirakan berlangsung selama 8 – 10 tahun.

Berdasarkan analisa diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Fir’aun yang hidup di jaman nabi Musa sekurang-kurangnya telah berkuasa sangat lama, yaitu sekitar 36-40 tahun, ini merupakan penafsiran yang sangat rendah, karena belum menghitung berapa tahun Fir’aun tersebut telah memerintah sampai ketika nabi Musa lahir. Kesimpulan ini memiliki potensi yang sangat penting dalam mengidentifikasikan Fir’aun ini karena hanya sedikit Fir’aun yang berkuasa selama itu sepanjang sejarah Mesir. Bahkan pada paruh kedua milenium kedua SM – yang disepakati semua peneliti sebagai periode terjadinya eksodus – hanya ada 2 Fir’aun yang memerintah lebih dari 40 tahun, mereka adalah Tuthmosis III (1504SM – 1450SM) dan Ramses II (1279SM – 1212SM). Dari kedua Fir’aun tersebut hanyalah Ramses II yang terlihat sesuai indikasi yang disampaikan Al-Qur’an, karena Tuthmosis III secara faktual baru memerintah setelah ibu-tirinya meninggal pada tahun 1483SM sehingga Fir’aun ini mutlak berkuasa hanya selama 33 tahun dan karenanya bukan Fir’aun yang dibicarakan dalam Al-Qur’an.

3. Fir’aun ‘pemilik autad’

Al-Qur’an memberikan deskripsi unik lainnya tentang Fir’aun yang terbukti dapat diberikan kepada Ramses II, dengan menyebutnya sebagai ‘dzii al-autad’ terdapat dalam surat Shaad [QS 38:10-13] dan surat al-Fajr [QS 89:6:13]. Para mufassir mempunyai perbedaan pendapat tentang kata ‘autad’ – jamak dari kata ‘watad’. Sebagian menafsirkan sebagai ‘kekuasaan dan kekejaman yang luar biasa’ karena Fir’aun adalah seorang tiran yang kejam, sebagian yang lain menafsirkan sebagai ‘prajurit’ karena dia memiliki tentara yang banyak. Namun pendapat yang lebih banyak disepakati adalah bahwa sebutan tersebut berarti ‘pasak’ atau ‘paku’ besar yang dipergunakan Fir’aun untuk menyiksa orang ketika mereka berpindah kepada agama nabi Musa, seperti yang terdapat dalam surat Thaaha [QS 20: 70-71], Asy-Syu’ara [QS 26:46-49], dan al-A’raaf [QS 7:120-124]. Kata ‘autad’ sendiri dalam bahasa Arab mempunyai beberapa makna seperti ; kekerasan, kekuasaan, tiang dan bangunan yang aman atau bangunan yang tinggi. Penulis buku ini mengajukan pendapat yang menarik dengan memperbandingkan kata ‘autad’ yang terkait dengan gunung-gunung (dalam Al-Qur’an disebut ‘rawaasii’ dan ‘jibaal’ ). Ketika Al-Qur’an membahas tentang peranan gunung yang menstabilkan bumi, Al-Qur’an menyebut kata ‘rawaasii’, sedangkan kata ‘autad’ dipergunakan dalam konteks kata ‘jibaal’. Perbedaan menarik antara penggunaan kedua kata itu dan perbedaan konteks penggunaan keduanya mengantar penulis buku ini menyatakan bahwa ‘autad’ bermakna ‘bangunan-bangunan’.

Sebenarnya penafsiran kata ‘autad’ sebagai ‘bangunan-bangunan’ sesuai dengan konteks ayatnya, yaitu surat al-Fajr [QS 89:6-13] yang mensejajarkan ‘
Fir’aun pemilik autad dengan kaum Aad yang mempunyai ‘bangunan-bangunan yangh tinggi’ dan kaum Tsamud yang ‘memotong batu di lembah’ untuk membangun rumah-rumah mereka.

Pilihan Al-Qur’an menggambarkan Fir’an sebagai ‘pemilik bangunan’ sangatlah tepat. Hal ini yang membedakan Ramses II dengan Fir’aun yang lain. Fir’aun ini menjalankan proyek pembangunan lebih banyak ketimbang Fir’aun yang lain sepanjang sejarah Mesir. Dia membangun patung-patung dan kuil-kuil besar di seluruh Mesir. “Sebagai pembangun monumen”, tegas Clayton. “Ramses II paling terkenal diantara seluruh Fir’aun Mesir. Meskipun Khufu telah menciptakan Piramida raksasa, tangan Ramses II menjangkau seluruh negeri. Tentang Ramses II ini, Clayton selanjutnya menyatakan :

“Prestasi pembangunan laksana Hercules. Dia membangun kuil-kuil besar di Karnak dan Luxor, menyempurnakan kuil-kuil makam ayahnya, Seti, di Gourna (Thebes) dan juga kuil Abydos, da membangun kuilnya sendiri didekat Abydos. Di tepi barat Thebes. Dia membangun makam-makam raksasa, Ramesseum. Prasasti pada galian batu di Gebel el-Silsila mencatat setidaknya 3.000 pekerja yang dipekerjakan disana untuk memecah batu yang diperlukan untuk Ramesseum. Kuil-makam penting lainnya berdiri di Nubia di Beit el-Wali, Gerf Hussein, Wadi es-Sebua, Derr dan bahkan sampai menjangkau daerah paling selatan. Napata”. (Clayton, P.A – 1994 – Chronicle of the Pharaohs: The Reign-By-Reign Record of the Rules and Dysnaties of Ancient Egypt)

Mengomentari obsesi luar biasa Fir’aun dengan bangunan ini, Kitchen (dalam buku ‘Pharaoh Triumphant; The Life and Times of Ramesses II King of Egypt’ ) mengatakan :”dia ingin berkarya tidak hanya pada skala kebesaran – saksikanlah Ramesseum, Luxor, Abu Simbel dan kemegahan Pi-Raamses yang sekarang telah lenyap – tetapi juga berbagai bidang seluas mungkin”. Kitchen menyatakan bahwa :”bisa dipastikan untuk karyanya yang berupa bangunan untuk dewa-dewa di seluruh Mesir dan Nubia, Ramses II melampaui tidak hanya Dinasti ke-18, tetapi juga semua periode dalam sejarah Mesir”.

Dengan demikian dapat dilihat secara jelas mengapa Al-Qur’an memilih menyebut Ramses II dengan ‘Fir’aun pemilik autad’.

4. Fir’aun yang dimumikan

Baik Al-Qur’an maupun Bibel menyatakan dengan tegas bahwa Fir’aun pada masa nabi Musa tewas tenggelam ketika berupaya mengejar nabi Musa dan bani Israil (Keluaran 14). Namun Bibel tidak secara eksplisit manyatakan bahwa jasad Fir’aun tersebut ditemukan orang. Ini terlihat bagaimana reaksi para sarjana Bibel ketika mumi Merneptah (yang dikalim merupakan Fir’aun eksodus yang berbeda dengan Fir’aun Ramses II ketika nabi Musa lahir) tidak ditemukan baik didalam makamnya di Lembah Raja-Raja maupun ditempat penyimpanan mumi-mumi kerajaan yang ditemukan tahun 1881 di dekat Deir el-Bahari di Thebes. Mereka mengklaim bahwa Merneptah pastilah Fir’aun eksodus yang telah tenggelam di laut sehingga jasadnya tidak ditemukan. Namun klaim ini terpaksa dikoreksi pada tahun 1898 ketika mumi Merneptah ditemukan ditempat penyimpanan mumi kerajaan yang tersembunyi di makam Amenhotep II di Lembah Raja-Raja bersama 15 mumi lainnya (Clayton 1994: hal 158). Menarik untuk ditunjukkan bahwa keyakinan yang didasari pada Bibel bahwa Merneptah adala Fir’aun pada masa eksodus – dikombinasikan dengan fakta bahwa penyelidikan terhadap muminya menunjukkan lapisan tebal garam pada kulitnya – dinyatakan sebagian sarjana Bibel sebagai bukti bahwa dialah Fir’aun masa eksodus yang lenyap dilaut. Namun sebenarnya, ini adalah akibat dari pembalseman (Harris dan Weeks : X-raying the Pharaohs).

Al-Qur’an, disisi lain, disamping menekankan dalam sejumlah ayat bahwa Fir’aun dan para tentaranya tenggelam, menjelaskan bahwa jasad Fir’aun yang tenggelam itu diselamatkan sebagai tanda bagi manusia, pada surat Yunus [QS 10:90-92]. Pernyataan Al-Qur’an tersebut sejalan dengan fakata bahwa jasad Ramses II masih ada dalam bentuk yang telah dimumikan. Mumi Ramses II ditemukan pada tahun 1881 diantara 40 mumi yang terpelihara di tempat penyimpanan dekat Deir el -Bahari di Thebes. Buccaile (The Bible, the Quran and Science: The Holy Scripture Examined in the Light of Modern Knowledge) menunjukkan dengan tepat, pada saat pewahyuan Al-Qur’an, keberadaan mumi-mumi ini tidak diketahui sama sekali.

Ada juga hal penting yang harus ditegaskan, bahwa Allah banyak menyebut dalam Al-Qur’an tentang orang ataupun kaum yang Dia hukum sebagai pelajaran bagi manusia, hanya dalam kasus Fir’aun inilah Allah menyatakan bahwa Dia akan menyelamatkan jasad-nya dan menjadikan sebagai peringatan bagi manusia. Fakta menarik lainnya adalah Allah menyatakan Dia akan menyelamatkan jasad Fir’aun untuk dijadikan sebagai tanda bagi mereka yang datang ‘sesudah’ Fir’aun dan Dia tidak membatasi pernyataan tersebut hanya untuk orang-orang Mesir dan/atau mereka yang hidup pada masa itu saja. Mumi Ramses II hingga kini masih bisa dilihat orang yang datang dari mana saja. Sekarang mumi tersebut terpelihara di Museum Mesir di Kairo.

Dari buku :
Sejarah Bangsa Israel dalam Bibel dan Al-Qur’an, Sebuah Penelitian Islamic Archeology.
Pengarang : Dr. Louay Fatoohi dan Prof. Shetha al-Dargazelli